Selasa, 14 Desember 2010

RANCANGAN TUGAS PAPER ILMU POLITIK

Konflik Internal BK Harus Dijelaskan ke Publik
JAKARTA - Penjelasan delapan anggota Badan Kehormatan (BK) yang melakukan studi banding ke Yunani tidak menjawab persoalan yang selama ini menjadi pertanyaan publik.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan ketua Badan Kehormatan DPR (BK-DPR) harus memeriksa kedelapan anggotanya yang diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan saat studi banding.

"Belum dijelaskan itu konteks membela diri, tapi bukan itu keputusannya. Sebagai ketua BK, Gayus Lumbuun harus memeriksa. Terbukti tidak terbukti setelah dibacakan Gayus. Ini seharusnya diklarifikasi," kata Ray saat dihubungi okezone, Rabu (24/11/2010).

Dia menyebutkan penjelasan delapan anggota BK ini justru memperkuat adanya tindakan menyia-nyiakan waktu. Apalagi waktu dua hari di Turki untuk alasan yang kurang jelas.
Jika alasan ditundanya keberangkatan karena persoalan pesawat, kenapa harus dua hari berada di Turki?

Ray juga mempertanyakan dana yang digunakan selama berada di Turki berasal dari mana. "Kalau kita toleran alasan transit ada waktu satu hari yang kosong. Sejatinya melakukan apa di Yunani," tambahnya.

Sebelumnya diberitakan, sebanyak delapan anggota BK DPR yang dimaksud adalah, Nurdiman Munir (FPG), Salim Mengga (FPD), Darizal Basir (FPD), Chairuman Harahap (FPG), Anshori Siregar (FPKS), Abdul Rosaq Rais (FPAN), Usman Ja’far (FPPP), dan Maschan Moesa (FPKB) mengadakan studi banding di Yunani pada 23-29 Oktober lalu. Namun, pada praktiknya, kunjungan kerja hanya sampai 27 Oktober.

Pekan kemarin sebanyak 10 lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga mendesak BK DPR melakukan pemeriksaan terhadap delapan anggotanya. Sepuluh LSM itu di antaranya, Indonesia Budjet Center, Sindikasi untuk Pemilu dan Demokrasi, Jaringan Pendidik Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Transparency International Indonesia, Tepi Indonesia, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Lima Indonesia, FORMAPPI, Sugeng Saryadi Syndicate, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA).

Anggota BK Nurdiman Munir mengatakan, keberangkatan ke Turki tidak melanggar aturan. Keberangkatan dan kepulangan para anggota BK disesuaikan dengan pengaturan jadwal dari travel agent. "Schedule keberangkatan dan pulang yang berdasarkan pesawat dan travel itu bukan mau kita. Schedule pesawat bukan kita yang menentukan, hanya mengikut aja," kilahnya.(ram)







BK Diminta Tunjukkan Hasil Studi Etika ke Yunani
JAKARTA - Kepergian anggota Badan Kehormatan (BK) DPR RI ke Yunani dan Turki beberapa waktu lalu masih menuai cibiran, terlebih anggota BK Nudirman Munir mengatakan kedatangannya ke Turki berhasil menarik minat pengusaha Turki untuk membeli produk furniture buatan Indonesia.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan ucapan Nudirman Munir hanya untuk memanipulasi informasi dan menutup-nutupi pertanyaan masyarakat.

“Ini akibat dari perjalanan anggota dewan yang tidak mempunyai tujuan yang jelas, apa tujuan mereka ke Yunani,” kata Sebastian kepada okezone, Minggu (27/11/2010).

Menurutnya, meski ada hasilnya apa yang dilakukan anggota BK tersebut sudah jauh dari tujuan DPR. “Mereka itu kan mau studi banding bukan jualan, malah yang diceritakan hasil jualan bukan hasil studi bandingnya apa. Jika mau jualan, tujuan kunjungan ini kan katanya belajar etika yang harus diceritakan hasil belajar etikanya,” terangnya.

Seperti diberitakan, pada Jumat pekan lalu, Nudirman yang juga anggota Komisi III DPR mengungkapkan keberhasilannya menggaet 17 pengusaha Turki untuk membeli produk furniture Indonesia.

“Saya heran kami yang hanya menggunakan anggaran Rp800 juta saja dimaki-maki. Padahal kami berhasil mengandeng 17 pengusaha di Turki untuk membeli furniture Indonesia senilai ratusan miliar rupiah,” kata Nudirman saat itu.

Politisi dari Fraksi Partai Golkar itu meminta masyarakat tidak mempersoalkan kunjungan angggota BK ke Turki beberapa, karena berhasil membawa pembeli.

Meski tidak sesuai dengan agenda, namun Nudirman berdalih anggota dewan sudah bekerja dengan baik mempromosikan produk Indonesia ke pengusaha Turki.









Badan Kehormatan

Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
Tata cara pelaksanaan tugas Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Badan Kehormatan
Badan Kehormatan (BK) DPR merupakan alat kelengkapan paling muda saat ini di DPR. BK merupakan salah satu alat kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk, misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.
BK DPR melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR, dan pada akhirnya memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada Pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi nama baik Anggota. Rapat-rapat Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Dewan Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR.
Antara BK dan DK….
Oktober 11, 2008 pada 11:38 pm (badan kehormatan DPR RI)
Badan Kehormatan DPR RI merupakan alat kelengkapan DPR RI yang baru, sebagaimana termaktub dalam Pasal 98 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa Badan Kehormatan DPR RI dibentuk oleh DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Berbeda halnya dengan periode 1999-2004 yang menyebut “Dewan Kehormatan” sebagai kelembagaan yang tidak bersifat tetap (ad hoc) karena lembaga ini dapat dibentuk oleh DPR RI bila terdapat kasus terkait dengan perilaku Anggota DPR RI. Hingga periode 1999-2004 berakhir, tidak ada kasus yang berhasil diproses oleh “Dewan Kehormatan” sehingga dalam periode tersebut “Dewan Kehormatan” belum pernah terbentuk guna menjalankan tugas dan fungsinya dalam penegakkan Kode Etik DPR RI.
Di sisi lain, pembentukan Badan Kehormatan di Indonesia, baik Badan Kehormatan DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebenarnya merupakan efek dari munculnya gagasan Reformasi Etik, Rezim Etik, Kode Etik dan Kode Perilaku pada sejumlah parlemen di dunia. Keempat gagasan ini awalnya dikembangkan oleh sektor swasta (private sector). Di tengah sistem ekonomi-pasar global, negara tidak lagi mampu mengontrol, mengakses, dan memberikan sanksi terhadap perusahaan yang ada. Sebagai contoh, pelanggan, seringkali melakukan boikot produk dan perusahaan yang dicurigai tidak menghargai standar etika bisnis. Akhirnya, perusahaan menyusun instrumen Reformasi Etik atau Rezim Etik dengan memberlakukan Kode Etik, Kode Perilaku, serta mekanisme monitoring internal atau bahkan membiarkan auditor independen untuk menyelidiki dan melaporkan apakah pengelolaan perusahaan itu memenuhi standar etika yang telah mereka buat atau tidak.
Gagasan tersebut kemudian bergeser pada wilayah publik. Publik di beberapa negara industri demokratis menjadi tidak senang dengan hal-hal yang disebut sebagai pelanggaran etik yang sudah jelas, seperti korupsi dan sebagainya. Ketidakpuasan rakyat dengan fungsi berbagai rezim politik, dengan cepat diterjemahkan ke dalam jatuhnya tingkat kepuasan terhadap demokrasi dan kepercayaan rakyat, serta meningkatnya kelompok-kelompok politik yang aktif melakukan demonstrasi/aksi protes. Untuk mengatasi hal ini maka para legislator, administrator, dan birokrat memahami perlunya Reformasi Etik.
Pelaksanaan Reformasi Etik diterjemahkan dalam Rezim Etik yang ditujukan untuk melayani fungsi internal dan juga eksternal. Secara internal, penguatan Rezim Etik dimaksudkan untuk meningkatkan standar etik dan kinerja pejabat publik. Secara eksternal, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik/rakyat. Dalam wilayah politik-parlemen, Rezim Etik lazimnya dibangun dengan memakai Kode Perilaku (code of conduct) dan Kode Etik (code of ethics).
Kode Etik merupakan norma-norma yang menyediakan seperangkat standar perilaku yang benar bagi anggota profesi yang mengeluarkan kode ini. Sedangkan Kode Perilaku merupakan aturan pelaksanaan yang lebih konkret, operasional dan disertai dengan sanksi bagi terjadinya pelanggaran. Kode perilaku parlemen merupakan dokumen formil yang mengatur perilaku anggota parlemen dengan menentukan apa yang dipandang sebagai perilaku yang diterima/diperbolehkan dan perilaku apa yang tidak diperkenankan.
Dengan kata lain, hal ini dimaksudkan untuk memperjuangkan budaya politik yang menempatkan penekanan pada kesopanan, kebenaran, transparansi, dan kejujuran perilaku anggota parlemen. Kode perilaku telah dijalankan oleh Kepulauan Fiji, Jerman, Grenada, Israel, Jepang, Filipina, Inggris, Amerika Serikat dan India. Selain itu, Chile dan Polandia juga telah merancang dan mengesahkan kode perilaku. Materi kode perilaku misalnya berisi perbuatan-perbuatan non-etis yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. menggunakan posisi publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi;
b. mendapatkan keuntungan untuk mempengaruhi tindakan pejabat;
c. menggunakan informasi pemerintah yang bersifat rahasia;
d. menerima hadiah dari pejabat atau pegawai melebihi nilai tertentu;
e. menerima honor dari pejabat publik;
f. mempunyai konflik kepentingan dalam hal keuangan;
g. melakukan nepotisme;
h. melakukan pekerjaan bisnis di luar parlemen dengan menggunakan jabatannya;
i. menerima pembayaran di luar sistem anggaran resmi.
Substansi kode perilaku di beberapa “Badan Kehormatan” lain berkenaan dengan penyingkapan finansial (disclosure) yang dimiliki oleh Anggota Parlemen. Oleh karena itu, “Badan Kehormatan” di seluruh parlemen dunia menitikberatkan pada mekanisme pengumuman kekayaan dan penyingkapan finansial dari anggota parlemen.
Sistem hukum di Indonesia, tidak dapat sepenuhnya menerapkan Rezim Etik yang berasal dari sektor swasta dan publik di luar negeri tersebut. Sistem hukum Indonesia secara historis adalah civil law system yang menekankan pada fungsi aturan tertulis yang hirarkis. Kode Etik atau kode perilaku dapat diatur dalam konteks peraturan tertulis sejauh posisinya berada di bawah Undang-Undang. Rezim Etik di Indonesia dilaksanakan melalui UU, Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik.
Adapun istilah “Kode Perilaku” tidak dikenal dalam sistem hukum kita, sehingga aturan yang lebih rinci dalam Kode Perilaku cukup diatur dalam Kode Etik. Persoalan yang lebih penting adalah efektifitas pelaksanaan dari UU, Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik, yang diharapkan dapat mendekati efektifitas pelaksanaan Kode Etik dan Kode Perilaku pada “Badan Kehormatan” parlemen negara-negara lain.
Selaras dengan sistem hukum kita yang mengenal aspek materiil dan formil, maka Kode Etik DPR dapat dinilai sebagai aturan-materiil Badan Kehormatan DPR RI. Sedangkan Peraturan Tata Tertib DPR saat ini masih bercampur antara aturan materiil dan formil untuk Badan Kehormatan DPR RI DPR RI. Sebagai langkah penyempurnaan, berdasarkan pengalaman praktek Badan Kehormatan DPR RI maka dalam masa-masa mendatang diperlukan penyempurnaan suatu aturan formil yang jauh lebih rinci yaitu Tata Beracara Badan Kehormatan DPR RI yang sepenuhnya bersifat formil.
Tinggalkan sebuah Komentar
Konsideran Pembentukan Badan Kehormatan – 2
Oktober 11, 2008 pada 10:49 pm (badan kehormatan DPR RI)
Konsideran Filosofis
Terlebih dahulu kita memposisikan Etika Politik sebagai dasar konseptual untuk melihat eksistensi BK. Etika Politik merupakan ilmu yang fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Istilah “etika” dan “moral” seringkali dianggap sama meskipun asal katanya berbeda yaitu “etika” yang berasal dari kata Yunani dan “moral” yang berasal dari kata Latin. Istilah “etika” dikenalkan oleh Aristoteles yang dipakai untuk menunjukkan filsafat moral dan sekaligus menunjukkan bahwa praktek politik di Yunani saat itu senantiasa bersandar pada filsafat moral. Adapun istilah “moral” berasal dari kata Latin mos yang bermakna kebiasaan atau adat.
Dalam tulisan ini kami merujuk pada istilah Etika yaitu suatu ilmu yang fundamental untuk menilai gejala-gejala politik dari sudut pandang moralitas. Kedudukan bahasa dan ilmu dari Etika sama halnya dengan Statistika dimana akhiran “-ika” selalu digunakan untuk menunjukkan suatu ilmu. Etika adalah ilmu tentang ethos atau etik, sedangkan Statistika adalah ilmu tentang statistik. Namun, dalam bahasa sehari-hari istilah Etika sebagai ilmu belum menjadi kebiasaan, sehingga istilah “Etika” jarang dipakai untuk suatu praktek pengetahuan dan hanya ditujukan untuk suatu perilaku yang dilakukan oleh manusia saja.
Adapun pertimbangan pertama yang menjadi dasar pembentukan BK dapat kita simak terlebih dahulu dalam bagian “Mengingat” huruf a UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
“…bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perumusyawaratan/perwakilan perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara…”
Apakah yang dapat kita peroleh dalam pertimbangan filosofis tersebut terkait dengan keberadaan BK? Sebagaimana kita ketahui, BK ada dan dibentuk dalam suatu lembaga permusyawaratan rakyat (BK MPR), lembaga perwakilan rakyat (BK DPR), dan lembaga perwakilan daerah (BK DPD atau BK DPRD). Bila kita simak bahasa konsideran UU Susduk, maka pembentukan BK nampak didasari suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila (baik sebagai norma dasar maupun ideologi terbuka). Antara “kedaulatan rakyat” dan “hikmat kebijaksanaan” menjadi dasar fundamental agar suatu institusi yang dibentuk dalam lembaga perwakilan rakyat seperti BK itu, dapat benar-benar menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Istilah “hikmat kebijaksanaan” memposisikan anggota BK MPR, DPR, DPD dan DPRD agar menggunakan “hati nurani” sebagai fenomena moral. Bukankah “hikmat kebijaksanaan” merupakan upaya rasio agar segala keputusan manusia dapat diterima oleh sesamanya? Bukankah “hati nurani” dan “kesadaran” itu merupakan tema penting dalam Etika? Dalam hal ini, “hati nurani“ cenderung mempunyai aspek transenden yang melampaui diri kita, dan meletakkan kita sebagai ‘pendengar’ dari suara-suara transendennya.
Dalam praktek kinerja BK, seringkali terjumpai berbagai argumentasi mengenai pasal-pasal dalam Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib maupun Kode Etik ketika BK sedang membahas kasus tertentu. Argumentasi yang diperoleh melalui “kesadaran” itu bisa saja terwujud dalam bentuk penggunaan logika silogisme, logika hukum maupun logika politik –yang sedikitnya diwarnai oleh pandangan, platform atau ideologi politik tertentu. Seperti diketahui bahwa dalam Kode Etik senantiasa terdapat 3 (tiga) norma yaitu norma larangan, kewajiban dan kepatutan. Ketiga norma ini diwujudkan dalam pasal-pasal Kode Etik. Sedangkan, Kode Etik sendiri merupakan positivisasi terhadap ukuran-ukuran moral tertentu dalam kehidupan politik parlemen. Logika yang dipergunakan dalam rapat maupun persidangan BK tidaklah lepas dari norma-norma tersebut. Artinya, premis faktual berupa kasus tertentu dan premis normatif dalam Kode Etik membuahkan hasil berupa premis imperatif yang berjalan dalam tatanan etis.
Keberagaman dalam menggunakan logika tersebut itu sah dan valid adanya bila didahului oleh suara-suara hati nurani. Anggota BK berusaha untuk menunjukkan bahwa “hikmat kebijaksanaan” itu benar-benar digunakan dalam rangka menilai suatu perilaku anggota parlemen itu baik atau buruk dengan tidak meninggalkan norma hukum dalam Kode Etik. Suara hati nurani dan Kesadaran dari Anggota BK itu seringkali digunakan untuk menilai suatu peristiwa masa lalu (yang berhubungan dengan syarat-syarat Pemilu), peristiwa saat ini, dan membentuk suatu acuan tentang perbuatan apa yang seharusnya tidak etis untuk dilakukan.
Apabila kita benar-benar membaca ketentuan dalam Kode Etik, dan apalagi posisi kita sebagai Anggota BK, maka dalam perspektif Antropologi Budaya, keberadaan BK mendorong penggunaan “hikmat kebijaksanaan” untuk menciptakan suatu shame culture dan guilt culture. Artinya, anggota parlemen mempunyai rasa malu dan rasa bersalah bila perilakunya melanggar ketentuan dalam Kode Etik dan Tata Tertib. Rasa malu dan rasa bersalah itu muncul dalam kesadaran pribadi Anggota parlemen tanpa adanya suatu sanksi/hukuman dari BK maupun institusi peradilan.
Disinilah pertimbangan filosofis tentang kaitan antara “hukum” dan “moral/ethos” itu berada. Keberadaan BK sungguh tidak berada dalam posisi untuk menghukum seseorang dan lebih pada tindakan pencegahan atau penilaian terhadap adanya perbuatan immoral (baca: tidak bermoral). Bila demikian halnya maka posisi lembaga perwakilan rakyat dalam mewakili “rakyat” itu akan terlegitimasi secara etis, di luar legitimasi politis dalam sistem pemilihan umum. Kedaulatan rakyat dijalankan oleh BK (sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat) melalui jalur etis yang cenderung untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam diri Anggota parlemen itu sendiri. Dalam skala lebih luas, keberadaan BK dalam sistem demokrasi akan mendinamisasi perkembangan moral dari Anggota parlemen ke arah yang lebih matang –khususnya dalam hal peran dan tanggung jawab moral yang melekat pada dirinya sendiri
Melekatnya peran dan tanggung jawab moral itu dapat kita lihat dalam praktek dan ketentuan tentang Sumpah/Janji Anggota parlemen. Terkait dengan tema diskusi yang melibatkan Anggota DPRD ini, maka mari kita simak Penjelasan Pasal 72 UU Susduk:
“Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai kata-kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata ‘Demi Allah’ dan untuk penganut agama Kristen/Katolik diakhiri dengan kata-kata ‘Semoga Tuhan Menolong Saya, untuk agama Budha ‘Demi Hyang Adi Budha, untuk agama Hindu ‘Om Atah Paramawisesa/….Hakekatnya sumpah/janji adalah tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya dan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD Kabupaten/Kota.”
Dalam penjelasan tersebut dapat kita peroleh bahwa pada hakekatnya sumpah/janji merupakan “tanggung jawab individu” dan “tanggung jawab kolektif” bagi Anggota DPRD. Tanggung jawab individu karena anggota DPRD berjanji pada Tuhan dan agama sebagaimana ia yakini. Tanggung jawab kolektif karena seluruh anggota DPRD diperintahkan oleh Undang-Undang agar memperjuangkan aspirasi rakyat.
Untuk menentukan apakah seorang anggota DPRD itu melanggar tanggung jawab individu itu, tentu dikembalikan kepada kesadaran pribadi masing-masing. Selanjutnya, siapakah yang berwenang untuk menentukan apakah ada suatu pelanggaran tanggung jawab kolektif? Dalam konteks demikian, pembentukan dan keberadaan BK DPRD penting untuk melihat apakah telah terjadi pelanggaran terhadap sumpah/janji tersebut. Begitu pentingnya substansi sumpah/janji itu maka Anggota BK DPRD harus berhati-hati dan mendengarkan suara hati nuraninya sebelum menafsirkan kaidah-kaidah atau norma dalam Kode Etik DPRD.
Dalam kategori tanggung jawab kolektif, pandangan etik dari BK DPRD terhadap sumpah/janji merupakan bentuk rasa solidaritas agar martabat seluruh anggota parlemen tidak terlukai oleh suatu perbuatan immoral dari anggota parlemen tertentu. Pengambilan keputusan untuk pelanggaran terhadap sumpah/janji tidaklah mungkin diterapkan terhadap suatu perbuatan yang benar-benar tidak terbukti dalam hal perjuangan aspirasi rakyat. Seluruh anggota BK DPRD seharusnya menggunakan “hikmat kebijaksanaan” yang melekat terhadap dirinya sendiri, untuk menilai apakah ada kewajiban dan tanggung jawab kolektif yang dilanggar oleh seorang anggota parlemen dalam kasus tertentu. Dengan demikian, keberadaan BK terhindar dari suatu tindakan immoral seperti intrik politik (individual dan faksional) yang menjauhi kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap Tuhan dan Konstituen.
Suatu hal penting yang dapat ditekankan adalah konsideran pembentukan BK mempunyai nuansa filosofis yang amat mendasar, antara lain sebagai berikut:
a. Pembentukan BK meletakkan tanggung jawab dan kewajiban moral tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui hikmat kebijaksanaan dalam kinerjanya sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menegakkan martabat manusiawi anggota parlemen.
b. Pembentukan BK meletakkan hubungan yang erat antara Moral dan Agama, serta Moral dan Politik, apabila kita melihat dari sumpah/janji anggota parlemen. Sebagai pendasarannya adalah Moralitas sebagai ciri khas manusia, dimana BK menilai seluruh perbuatan yang dilakukan Anggota Parlemen dalam cara pandang Moralitas.
c. Pembentukan BK meletakkan hubungan yang erat antara Moral dan Hukum, untuk menguji sejauhmana Anggota parlemen telah melanggar kewajiban dan tanggung jawab moralnya sebagaimana diatur dalam hukum positif yaitu aturan perundang-undangan dan khususnya yang diatur dalam Tata Tertib dan Kode Etik.
Sebagai gambaran kinerja BK DPR RI, seringkali perdebatan tentang batas Etik dan Hukum menjadi tema utama. Hal ini menunjukkan anggota BK DPR RI sungguh-sungguh beranjak dari status keilmuan Etika Politik maupun Filsafat Hukum untuk menguji sejauhmana perilaku Anggota DPR RI itu dapat dinilai dalam kerangka konseptual Tata Tertib dan Kode Etik. Dalam konteks Logika, premis-premis normatif dalam Tatib/Kode Etik selalu dikaitkan dengan premis faktual/kasus untuk sampai pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga. Inilah kiranya cikal bakal “etika terapan” (applied ethics) dalam wilayah politik parlemen yang sedang tumbuh dalam sistem demokrasi Indonesia.
Konsideran Yuridis
Pertama, pertimbangan yuridis tentang BK dapat kita telusuri dalam pendekatan kelembagaan dalam tata hukum nasional. Seperti yang telah dibahas semula tentang etika terapan, maka dalam hal pelaksanaan etika terapan tersebut membutuhkan kompetensi lembaga tertentu yang dapat menentukan validitas dan efektivitas tata hukum nasional yang punya legitimasi etis.
Ilmuwan Hukum Tata Negara, Jimly Ashiddiqie, dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, menyatakan bahwa salah satu ciri penting dari good governance adalah prinsip the rule of law yang harus digandengkan pula sekaligus dengan the living ethics. Keduanya berjalan seiring dan sejalan secara fungsional dalam upaya membangun perikehidupan yang menerapkan prinsip good governance, baik dalam lapisan pemerintahan dan kenegaraan (supra-struktur) maupun dalam lapisan kemasyarakatan (infrastruktur).
Ide pokok tentang the rule of law dan the living ethics adalah di samping membangun sistem hukum dan menegakkan hukum, kita juga harus membangun dan menegakkan sistem etika dalam kehidupan keorganisasian warga masyarakat dan warga negara. Dengan demikian, tidak semua persoalan harus ditangani oleh dan secara hukum. Yang menarik dari pemikiran Jimly Ashiddiqie adalah sebelum segala sesuatu bersangkutan dengan hukum, sistem etika sudah lebih dulu menanganinya, sehingga diharapkan beban sistem hukum tidak terlalu berat. Jika etika tegak dan berfungsi baik maka mudah diharapkan bahwa hukum juga dapat ditegakkan semestinya.
Beranjak dari ketentuan yang lebih umum yaitu Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka Jimly Ashiddiqie mengusulkan agar terdapat pengaturan operasional yang menyeluruh. Utamanya, dalam upaya membangun sistem etika di tingkat supra-struktur maupun di tingkat infrastruktur. Pertama, Ketetapan MPR tersebut diacu untuk peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan lain sebagainya. Kedua, Ketetapan MPR tersebut diacu untuk menyusun sistem kode etik dan pemberlakuannya secara umum melalui suatu Undang-Undang yang mengatur tentang ketentuan pokok etika dalam kehidupan berbangsa. Undang-Undang inilah nanti yang akan memayungi semua ketentuan tentang etika, kode etik, dan komisi etik yang diatur dalam berbagai Undang-Undang lain yang terkait.
Keseluruhan sistem etika itu dinamakan oleh Jimly Ashhiddiqie sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Ide-ide besar negara hukum tidak akan tegak tanpa dilandasi basis etika yang hidup secara fungsional dan terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pandangan seperti ini meletakkan keberadaan Kode Etik DPR RI sebagai infrastruktur sistem kode etik positif yang merupakan ciri khas sistem hukum Indonesia pasca reformasi. Kode Etik DPR RI dipahami sebagai salah satu bagian infrastruktur sistem kode etik positif, karena masih banyak kode etik positif pada lembaga-lembaga publik lainnya.
Begitu pentingnya infrastruktur sistem kode etik positif itu, maka BK DPR dipertimbangkan sebagai alat kelengkapan DPR RI yang baru, sebagaimana termaktub dalam Pasal 98 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 22/2003 tentang Susduk bahwa Badan Kehormatan DPR RI dibentuk oleh DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Berbeda halnya dengan periode 1999-2004 yang menyebut “Dewan Kehormatan” sebagai kelembagaan yang tidak bersifat tetap (ad hoc) karena lembaga ini dapat dibentuk oleh DPR RI bila terdapat kasus terkait dengan perilaku Anggota DPR RI. Hingga periode 1999-2004 berakhir, tidak ada kasus yang berhasil diproses oleh “Dewan Kehormatan” sehingga dalam periode tersebut “Dewan Kehormatan” belum pernah terbentuk guna menjalankan tugas dan fungsinya dalam penegakkan Kode Etik DPR RI.
Kedua, pembentukan BK di Indonesia, baik BK DPR RI dan BK DPRD dapat dilihat dari sisi pandang tentang perkembangan gagasan Reformasi Etik di parlemen dunia yang sejumlah gagasan di antaranya dipositifkan dalam tata hukum nasional Indonesia. Gagasan Reformasi Etik, Rezim Etik, Kode Etik dan Kode Perilaku pada sejumlah parlemen di dunia awalnya dikembangkan oleh sektor swasta (private sector). Di tengah sistem ekonomi-pasar global, negara tidak lagi mampu mengontrol, mengakses, dan memberikan sanksi terhadap perusahaan yang ada. Sebagai contoh, pelanggan, seringkali melakukan boikot produk dan perusahaan yang dicurigai tidak menghargai standar etika bisnis. Akhirnya, perusahaan menyusun instrumen Reformasi Etik atau Rezim Etik dengan memberlakukan Kode Etik, Kode Perilaku, serta mekanisme monitoring internal atau bahkan membiarkan auditor independen untuk menyelidiki dan melaporkan apakah pengelolaan perusahaan itu memenuhi standar etika yang telah mereka buat atau tidak.
Gagasan tersebut kemudian bergeser pada wilayah publik. Publik di beberapa negara industri demokratis menjadi tidak senang dengan hal-hal yang disebut sebagai pelanggaran etik yang sudah jelas, seperti korupsi dan sebagainya. Ketidakpuasan rakyat dengan fungsi berbagai rezim politik, dengan cepat diterjemahkan ke dalam jatuhnya tingkat kepuasan terhadap demokrasi dan kepercayaan rakyat, serta meningkatnya kelompok-kelompok politik yang aktif melakukan demonstrasi/aksi protes. Untuk mengatasi hal ini maka para legislator, administrator, dan birokrat memahami perlunya Reformasi Etik.
Pelaksanaan Reformasi Etik diterjemahkan dalam Rezim Etik yang ditujukan untuk melayani fungsi internal dan juga eksternal. Secara internal, penguatan Rezim Etik dimaksudkan untuk meningkatkan standar etik dan kinerja pejabat publik. Secara eksternal, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik/rakyat. Dalam wilayah politik-parlemen, Rezim Etik lazimnya dibangun dengan memakai Kode Perilaku (code of conduct) dan Kode Etik (code of ethics).
Kode Etik merupakan norma-norma yang menyediakan seperangkat standar perilaku yang benar bagi anggota profesi yang mengeluarkan kode ini. Sedangkan Kode Perilaku merupakan aturan pelaksanaan yang lebih konkret, operasional dan disertai dengan sanksi bagi terjadinya pelanggaran. Kode perilaku parlemen merupakan dokumen formil yang mengatur perilaku anggota parlemen dengan menentukan apa yang dipandang sebagai perilaku yang diterima/diperbolehkan dan perilaku apa yang tidak diperkenankan.
Dengan kata lain, hal ini dimaksudkan untuk memperjuangkan budaya politik yang menempatkan penekanan pada kesopanan, kebenaran, transparansi, dan kejujuran perilaku anggota parlemen. Kode perilaku telah dijalankan oleh Kepulauan Fiji, Jerman, Grenada, Israel, Jepang, Filipina, Inggris, Amerika Serikat dan India. Selain itu, Chile dan Polandia juga telah merancang dan mengesahkan kode perilaku. Materi kode perilaku misalnya berisi perbuatan-perbuatan non-etis yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. menggunakan posisi publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi;
b. mendapatkan keuntungan untuk mempengaruhi tindakan pejabat;
c. menggunakan informasi pemerintah yang bersifat rahasia;
d. menerima hadiah dari pejabat atau pegawai melebihi nilai tertentu;
e. menerima honor dari pejabat publik;
f. mempunyai konflik kepentingan dalam hal keuangan;
g. melakukan nepotisme;
h. melakukan pekerjaan bisnis di luar parlemen dengan menggunakan jabatannya;
i. menerima pembayaran di luar sistem anggaran resmi.
Substansi kode perilaku di beberapa “Badan Kehormatan” lain berkenaan dengan penyingkapan finansial (disclosure) yang dimiliki oleh Anggota Parlemen. Oleh karena itu, “Badan Kehormatan” di seluruh parlemen dunia menitikberatkan pada mekanisme pengumuman kekayaan dan penyingkapan finansial dari anggota parlemen.
Sistem hukum di Indonesia, tidak dapat sepenuhnya menerapkan Rezim Etik yang berasal dari sektor swasta dan publik di luar negeri tersebut. Sistem hukum Indonesia secara historis adalah civil law system yang menekankan pada fungsi aturan tertulis yang hirarkis. Kode Etik atau Kode Perilaku dapat diatur dalam konteks peraturan tertulis sejauh posisinya berada di bawah Undang-Undang. Rezim Etik di Indonesia dilaksanakan melalui UU, Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik.
Adapun istilah “Kode Perilaku” tidak dikenal dalam sistem hukum kita, sehingga aturan yang lebih rinci dalam Kode Perilaku cukup diatur dalam Kode Etik. Persoalan yang lebih penting adalah efektifitas pelaksanaan dari UU, Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik, yang diharapkan dapat mendekati efektifitas pelaksanaan Kode Etik dan Kode Perilaku pada “Badan Kehormatan” parlemen negara-negara lain.
Selaras dengan sistem hukum kita yang mengenal aspek materiil dan formil, maka Kode Etik DPR dapat dinilai sebagai aturan-materiil Badan Kehormatan DPR RI. Sedangkan Peraturan Tata Tertib DPR saat ini masih bercampur antara aturan materiil dan formil untuk Badan Kehormatan DPR RI DPR RI. Sebagai langkah penyempurnaan, berdasarkan pengalaman praktek Badan Kehormatan DPR RI maka dalam masa-masa mendatang diperlukan penyempurnaan suatu aturan formil yang jauh lebih rinci yaitu Tata Beracara Badan Kehormatan DPR RI yang sepenuhnya bersifat formil.
Persoalan lain yang membutuhkan kajian yang lebih mendalam adalah bagaimana tata beracara BK DPRD yang sudah diatur lebih rinci dalam PP No. 53/2005 dapat ditafsirkan secara teknis dalam Peraturan DPRD tentang Tata Tertib. Keadilan prosedural merupakan hal penting agar BK DPRD tidak sertamerta didisain seperti lembaga peradilan. Posisi BK-DPR dan BK-DPRD merupakan lembaga internal DPR/DPRD yang tugas dan wewenangnya jelas pula dilaksanakan secara internal.
Putusan BK berada dalam wilayah pengaruh rezim etika yang bila dirunut secara filosofis-yuridis merupakan rumpun keilmuan filsafat hukum berbasis ajaran hukum alam, yang dikonkretkan dalam Kode Etik. Sedangkan aparat penegak hukum menggunakan aturan-aturan hukum positif yang mengikuti doktrin Hans Kelsen tentang Reine Rechtslehre (ajaran hukum murni) yaitu teori hukum positif yang berlaku di negara masing-masing. Sehingga dalam UU Susduk dibedakan antara putusan peradilan dan putusan BK, seperti kita lihat dalam Pasal 85 ayat (4) UU Susduk bahwa putusan peradilan dapat dijadikan dasar untuk memutus perkara etika, namun di luar putusan peradilan (asalkan berdasar Kode Etik) dapat diputuskan langsung oleh BK DPR-RI.
Hubungan antara Moral dan Hukum nampak jelas dalam ketentuan tentang imunitas. Seorang anggota parlemen tetap mempunyai kekebalan berupa tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan-pernyataannya, kecuali mengumumkan rahasia negara, terorisme, tindak pidana korupsi dan tertangkap tangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Susduk. Dalam penyidikan oleh penegak hukum, anggota parlemen dapat dimintai keterangan oleh penegak hukum setelah mendapat persetujuan dari Presiden, Mendagri atau Gubernur. Sedangkan penyelidikan dan verifikasi yang dilakukan oleh BK kepada anggota parlemen, tidak membutuhkan ijin, sehingga imunitas tidak berlaku bila berhadapan dengan BK DPR-RI dan BK DPRD.
Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh tentang kinerja BK mengingat tema yang diajukan adalah konsideran pembentukan BK. Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah:
a. dalam pendekatan tata hukum nasional, etik yang hidup dalam masyarakat (living ethics) hidup berdampingan dengan hukum positif, dimana terdapat sistem kode etik positif yang senantiasa mewarnai legitimasi etis dari hukum positif;
b. dalam pendekatan gagasan etik parlemen dunia tentang Reformasi Etik, parlemen Indonesia telah mengadaptasi gagasan tersebut dalam hukum positif dan kode etik positif;
c. dalam pendekatan etika terapan (applied ethics), diperlukan suatu lembaga yang dapat menguji validitas hukum positif dan kode etik positif yaitu Badan Kehormatan;
Sebagai langkah kritik untuk masa depan pengembangan etik parlemen, maka dibutuhkan suatu Reformasi Etik dan Etika Terapan yang menyebar di seluruh institusi negara. Adanya BK di parlemen belumlah cukup kuat pelaksanaan etika terapannya, bila tidak didukung oleh lembaga etik di pemerintahan dan alat negara lainnya. Maraknya pembentukan lembaga etik di seluruh lembaga negara amat berarti sebagai elemen pendukung etika terapan di bidang politik. Dengan demikian, konsideran pembentukan BK baik antara konsideran filosofis dan yuridis masih memerlukan penyempurnaan dalam hal pelaksanaan, refleksi konseptual, dan uji validitas terhadap berbagai aturan hukum positif. Tak terkecuali, Kode Etik DPR RI dan DPRD pun membutuhkan kritik agar terdapat acuan moralitas yang berjalan sesuai perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang lebih matang.[]

http://badankehormatan.wordpress.com/category/badan-kehormatan-dpr-ri/page/2/
\http://www.dpr.go.id/id/bk
http://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar