Selasa, 14 Desember 2010

TUGAS RESUME ILMU POLITIK

I. Kestabilan Politik dan Peta Politik

Kestabilan Politik
Terdapat tidak kurang dari 25 buah kabinet yang memerintah di Indonesia selama Indonesia merdeka. Dari jumlah tersebut hanya 7 kabinet yang berhasil memerintah selama 12 sampai 23 bulan. Lalu terdapat 12 kabinet yang berumur antara 6 sampai 11 bulan. Dan 6 buah kabinet yang hanya bisa bertahan diantara 1 sampai 4 bulan. Demikian salah satu gambaran ketidakstabilan politik Indonesia, yakni dilihat dari kesempatan yang tersedia bagi setiap pemerintah (kabinet) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Dalam pada itu terdapat 45 buah protes melalui demonstrasi, 83 huru-hara (riot) dan 615.000 kematian yang disebabkan kekerasan politik diantara tahun 1948 dan 1967, memperlihatkan betapa rapuhnya kestabilan politik di Indonesia.
Kalau ketidakstabilan yang terdahulu lebih bersumber pada kelemahan elite politik untuk bekerjasama satu sama lain, maka yang terakhir ini lebih disebabkan oleh belum melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada masyarakat luas untuk mengambil bagian di dalam proses politik. Orang akan cepat setuju denag pendapat yang mengatakan bahwa ketidakstabilan politik yang dialami oleh Indonesia memperkecil keleluasaan bagi negara ini untuk mengadakan perbaikan-perbaikan ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu adalah logis program politik Orde Baru pada awal kekuasaannya untuk menegakkan kestabilan politik untuk memberi landasan kepada pembangunan. Akan tetapi perlu pula dipersoalkan apa sifat-sifat stabilitas politik yang mungkin ditegakkan di Indonesia dan kestabilan politik yang bagaimana yang memungkinkan terlaksananya pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya.
Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh 3 variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan partisipasi politik.




Kalau kita perhatikan perkembangan politik Indonesia semenjak merdeka, perhatian masyarakat terhadap politik lebih banyak terangsang pada perhatian kepada perkembangan ekonomi. Revolusi `45 dan rezim Demokrasi Terpimpin amat banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan masyarakat secara revolusioner, anti imperialis, dan sebagainya yang semuanya lebih mengarahkan perhatian masyarakat kepada masalah politik daripada ekonomi. Keadaan ini berlangsung sampai di sekitar tahun 1965.
Perkembangan partai yang pesat di dalam tahun lima puluhan, pembentukan lembaga-lembaga politik seperti Front Nasional, Paran, KOTI dan lain-lain di dalam tahun `60, lebih memberi tempat kepada partisipasi dan pengerahan masyarakat secara politik. Sebaliknya keadaan ekonomi secara keseluruhan semakin merosot.
Dengan demikian terlihat kecenderungan tidak terdapatnya perimbangan antara partisipasi politik dan perkembangan ekonomi di Indonesia sampai tahun 1965. Di dalam hal ini malah partisipasi politik lebih dahulu bergerak daripada perkembangan ekonomi. Oleh karena itu seringkali timbul isu politik yang dilatarbelakangi oleh masalah-masalah ekonomi yang menyebabkan goncangan situasi politik.
Dalam pada itu “kestabilan politik didalam suasana partisipasi politik yang tinggi dapat dipelihara sekiranya partisipasi tersebut diimbangi oleh perkembangan pelembagaan politik”. Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat yang ingin mengambil bagian didalam proses politik diberi kesempatan melalui lembaga-lembaga politik yang diperkembangkan sesuai dengan pertumbuhan kekuatan-kekuatan politik yang terjadi di dalam masyarakat. Tentu saja partisipasi tersebut bisa berjalan dan tidak menimbulkan kegoncangan-kegoncangan apabila semua pihak yang memainkan peranan politik sama-sama terikat kepada aturan permainan yang juga sudah melembaga. Sebaliknya apabila saluran bagi partisipasi tidak tersedia berupa partai politik, berbagai organisasi, kesempatan untuk




memainkan berbagai peranan politik; dan apabila tidak terdapat persesuaian paham mengenai aturan permainan diantara pemegang peran politik; maka partisipasi di dalam suasana ini akan tersalur melalui cara-cara yang sering menggoncangkan kestabilan politik, seperti huru-hara, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya.
Tanpa menghubungkan dengan masalah pembangunan, kestabilan politik pula dipelihara dengan mempertahankan tingkat pelembagaan politik yang rendah; asal saja diimbangi oleh partisipasi politik yang rendah pula.
Dalam jangka pendek kestabilan politik lebih banyak ditentukan oleh kewibawaan pemerintah. Bagaimana masyarakat dalam pengertian baik massa maupun group elite yang terlingkup kepada pendukung pemerintah dan yang beroposisi, memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melaksanakan programnya, amat berpengaruh terhadap kestabilan politik. Silih bergantinya kabinet di dalam waktu yang relatif singkat pada masa sistem politik Demokrasi Konstitusional banyak sekali dipengaruhi oleh cepat mengecilnya kepercayaan yang semula diberikan oleh kekuatan-kekuatan politik di luar Parlemen seperti Presiden dan Angkatan Bersenjata di lain pihak.
Lalu kestabilan politik dalam waktu tidak begitu lama dipengaruhi pula oleh seni dan keahlian berpolitik lainnya, seperti kemampuan untuk berkompromi diantara pihak yang beroposisi. Kelemahan ini bisa saja dikembalikan kepada masalah sejarah dengan mengatakan bahwa tidak cukup pengalaman dalam mempergunakan lembaga tersebut. Akan tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia bukan tidak mempunyai kebiasaan untuk memperoleh jalan tengah di dalam penyelesaian konflik, yang pada hakikatnya mengandung unsur yang sama, yaitu kesepakatan dengan keuntungan yang berimbang diantara pihak-pihak yang terlibat di dalam suatu konflik.





Dengan demikian dari pembahasan di atas, kita dapat sampai kepada semacam penyederhanaan bahwa di dalam jangka pendek, ketidakstabilan politik Indonesia lebih banyak bergantung kepada faktor seni dan keahlian berpolitik, dan memerintah. Kewibawaan pemerintah, kemampuan berkompromi diantara pemegang peran politik, dan kemampuan memimpin birokrasi pemerintah tampaknya lebih berperan bagi stabilitas di dalam jarak 1 atau 2 masa pemilihan umum.
Berbicara mengenai stabilitas politik untuk melandasi pembangunan, tidaklah berarti bahwa politik dan masyarakat tidak mengalami perubahan. Sebab hakikat dari pembangunan itu sendiri adalah perubahan. Oleh karena itu perlu dipersoalkan kestabilan politik macam apa yang diperlukan untuk maksud diatas. Kalau diperlukan suatu kestabilan yang dinamis, artinya kestabilan yang mampu memberi tempat yang wajar kepada perubahyan sosial dan politik, maka perlu pula dipahami apa kriterianya.
Stabilitas yang tidak mampu menampung perubahan sosial dan politik sering menjadi penyebab dari ketidakstabilan politik. Ambilah Pakistan sebagai contoh. Dibawah kepemimpinan Ayub Khan terdapat perkembangan ekonomi yang berarti. Baik industri maupun penghasilan rata-rata penduduk telah mengalami kemajuan. Akan tetapi perbaikan ekonomi itu sendiri lebih dirasakan oleh elite dan lapisan tengah masyarakat daripada lapisan bawah masyarakat yang merupakan bagian terbanyak. Dalam pada itu kaum buruh di daerah perindustrian yang biasanya terpusat di kota-kota, telah tumbuh menjadi suatu kekuatan politik baru. Begitu pula kelompok-kelompok lapisan menengah masyarakat dan kelompok cendekiawan yang telah tumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi, sudah menuntut peranan baru di dalam politik. Sementara semua perubahan ini berjalan, sistem politik masih seperti sediakala. Tidak bersedia memberikan peranan yang wajar kepada kekuatan-kekuatan politik yang baru diatas. Juga tidak dikembangkan lembaga-lembaga baru yang mungkin memberikan tempat berpartisipasi kepada kekuatan-kekuatan tersebut. Akibatnya timbullah ketidakpuasan secara umum yang kemudian meletus di dalam gerakan umum yang merombak sistem politik itu sendiri.



Peta Kekuatan Politik
Sebagai kekuatan politik yang berfungsi untuk merealisir Demokrasi Pancasila, ABRI perlu memenuhi persyaratan pokok, yakni penerimaan dan kepercayaan dari masyarakat. Secara formal persyaratan tersebut tersedia di dalam UUD`45 dan Ketetapan MPR. Begitu pula sejarah politik Indonesia sejak merdeka memperlihatkan banyaknya keterlibatan ABRI di dalam masalah-masalah politik. Ambillah contoh misalnya pertentangan antara Perdana Menteri Sjahrir dengan Tan Malaka di dalam setengah tahun pertama tahun 1946, disekitar peristiwa Madiun tahun 1948, sekitar peristiwa bulan Oktober 1952, persoalan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dalam tahun 1957.
Masalah utama yang berkenaan dengan penerimaan (legitimasi) masyarakat ialah bagaimana prosedur pengakuan itu berlangsung di dalam proses kehidupan publik. Sebab adalah ganjil jika ABRI sebagai bagian dari eksekutif bersaing dengan partai-partai politik yang swasta; di dalam suatu pemilihan umum sebagai sarana legitimasi kekuasaan politik. Dengan lain perkataan, ABRI kurang mempunyai keleluasaan bertindak untuk memperoleh dukungan dari masyarakat secara nyata. Di samping itu, adalah kurang lazim di dalam kehidupan politik apabila ABRI mengorganisasikan masyarakat yang akan memberikan dukungan secara langsung.
Sungguhpun tidak dapat disejajarkan dengan kekuatan-kekuatan politik yang sudah disinggung diatas, adalah sukar untuk membantah kenyataan bahwa ada semacam kekuatan politik yang kehadirannya di dalam kehidupan politik Indonesia tidak kontinyu. Artinya mahasiswa dan pemuda sebagai kekuatan politik moril memperlihatkan diri di dalam bentuk protes dan demokrasi, sebagai akibat dari masih lemahnya pemenuhan fungsi legitimasi sistem politik oleh kekuatan politik formal.





II. Partai Politik : Partisipasi Politik dan Legitimasi Sistem Politik
Sistem Politik
Sementara revolusi membawa tuntutan yang besar kepada perubahan sistem dan kehidupan politik di Indonesia, masyarakat sendiri masih mempunyai kapasitas yang relatif rendah untuk bisa melayani segala perubahan tersebut. Masyarakat yang secara minimal memperoleh kesempatan untuk mengenal berbagai sistem politik di dunia ini dan mencoba mengurus diri sendiri dengan mempraktekkan salah satu atau kombinasi dari berbagai sistem politik yang dikenalnya, di dalam waktu yang singkat sekaligus dihadapkan kepada tanggung jawab untuk mengatasi segala keterbelakangannya. Demikianlah halnya dengan partai politik. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, masalah yang menyangkut partai serta kehidupannya sudah menjadi salah satu pembicaraan utama di kalangan para politisi Indonesia. Para perintis kemerdekaan sudah memikirkan sistem kepartaian apa yang mungkin dikembangkan kelak di Indonesia. Akan tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempraktekkan pemikiran-pemikiran mereka. Ada semacam wadah untuk mecoba kehidupan kepartaian seperti Volksrad, namun kesempatan yang tersedia tidaklah memadai bagi melandasi kehidupan kepartaian yang mantap di masa setelah kemerdekaan. Disamping itu, perkembangan ekonomi dan kemasyarakatan belum memberikan kesempatan yang luas kepada tokoh-tokoh politik pada masa itu meletakkan dasar-dasar kehidupan partai politik seperti yang diharapkan.
Namun demikian kemerdekaan menuntut kepada masyarakat untuk mengembangkan sistem kepartaian yang diharapkan mampu melayani tuntutan-tuntutan yang ada seperti pengembangan demokrasi, pembangunan politik dan sebagainya. Masalahnya sekarang ialah sampai berapa besar adanya kemungkinan untuk memenuhi tuntutan tersebut di dalam waktu yang relatif singkat. Kalau kemungkinan yang tersedia relatif kecil, apa yang menyebabkannya. Barangkali faktor-faktor sejarah dan struktur masyarakat akan membantu di dalam meningkatkan kesempatan kita untuk menjawab pertanyaan di atas.



Aliran : Struktur Vertikal Masyarakat
Sebelum para penyiar agama Islam datang, di Indonesia sudah berkembang berbagai kepercayaan baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun agama-agama Hindu dan Budha yang berasal dari Asia Selatan. Malah semacam percampuran (sinkretisme) dari berbagai kepercayaan dan agama-agama tersebut sudah berkembang. Hal ini mengandung pengertian bahwa bagian masyarakat tertentu mencampuradukkan unsur-unsur dari ajaran serta upacara-upacara dari kepercayaan dan agama-agama diatas.
Masuknya agama Islam, tidak mengubah hubungan agama dengan kekuasaan. Seperti raja-raja terdahulu, kerajaan-kerajaan Islam sesuai dengan ajaran agama Islam mempergunakan agama sebagai landasan kekuasaan raja. Akan tetapi perkembangan Islam menumbuhkan pengelompokan baru dikalangan masyarakat Indonesia. Perkembangan agama yang relatif cepat yang disertai pula oleh pemupukan kekuasaan di sekitar raja-raja Islam, kemudian menimbulkan pengelompokan baru di dalam masyarakat, yakni antara Islam dan non-Islam atau antara santri dan abangan.

Aliran dan Organisasi – Organisasi Pergerakan Kemerdekaan
Berbagai aliran dan golongan diatas, mempengaruhi kehidupan organisasi sosial dan politik. Perhatikanlah maksud dari pembentukan organisasi-organisasi sosial seperti Boedi Oetomo, Syarikat Dagang Islam, Nahdatul Ulama (sebelum menjadi partai politik) dan Muhammadiyah. Sungguhpun organisasi-organisasi ini merupakan lembaga-lembaga yang mempelopori pengorganisasian masyarakat Indonesia secara luas dan modern, namun pada masa pembentukannya, organisasi-organisasi tersebut lebih dimaksudkan untuk mengetengahkan tuntutan-tuntutan sosial dari golongan tertentu di dalam masyarakat. SDI, NU, dan Muhammadiyah misalnya, lebih bermaksud mewakili kepentingan mereka yang beragama Islam. Demikian pula dengan Boedi Oetomo yang dimaksudkan untuk meningkatkan kehidupan dan pendidikan orang Jawa.
Disamping itu lahir pula kelompok-kelompok yang didasarkan kepada suku kedaerahan, seperti Paguyuban Pasundan (1914), Sarekan Sumatera (1918), Sarekat Ambon (1920), Rukun Minahasa dan Kaum Betawi (1923). Sungguhpun pada permulaan berdirinya organisasi-organisasi ini lebih terangsang oleh masalah-masalah sosial namun peranannya didalam pergerakan kemerdekaan secara keseluruhan patut juga dicatat.
Kalau diperhatikan jalan pikiran yang melandasi organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan diatas, maka jelaslah bahwa ketidakadilan dan kemerdekaan yang merupakan unsur utama. Akan tetapi bagaimana tuntutan-tuntutan tersebut bisa diterapkan ke dalam pemikiran yang mengikat kelompok-kelompok orang, maka beragam alasan yang bisa diketengahkan. Ambillah organisasi seperti Syarikat Islam. Kelompok ini mencari dasar bagi tuntutan untuk merdeka, dari ajaran-ajaran agama Islam. Lain halnya dengan organisasi-organisasi politik seperti PNI, PARTINDO, PERINDRA yang melihat kemerdekaan sebagai hak setiap orang dan sekelompok orang yang terlingkup di dalam suatu bangsa, tanpa perlu menghubungkannya dengan ajaran agama tertentu. Dan PKI misalnya mencari dasar bagi perjuangan partai kepada ajaran-ajaran Karl Marx.
Pada dasarnya faktor ideologi inilah yang menjadi dasar pokok dari pertikaian diantara partai di Indonesia. Dan apabila gambaran diatas mampu mendekati kebenaran, maka hal itu sudah membantu di dalam pentingnya peranan ideologi didalam kahidupan kepartaian di Indonesia. Masalahnya adalah kemana arah dari peranan ideologi tersebut. Sampai berapa jauh terdapat hubungan antara ideologi partai dengan peranan partai di dalam pembangunan politik umunya dan pembangunan partai politik pada khususnya.
III. Angkatan Bersenjata : Pembangunan dan Pembaharuan Politik

ABRI dan Politik
Munculnya militer di panggung politik, sosial, dan ekonomi negara-negara berkembang, berpangkal pada lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan kesemua unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang dengan cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisir masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin dipergunkan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakat sendiri. Begitu lepas dari kekuasaan penjajahan, negara-negara berkembang mengalami fase percobaan untuk merealisir demokrasi.
Sekirannya pandangan yang dikemukakan diatas mendekati kebenaran, maka memungkinkan tumbuh dan berkembangnya kemampuan militer untuk mengelola kehidupan politik di Indonesia. Peneliti politik cenderung melihat keunggulan militer terutama terletak pada bidang organisasi.




Herman Finer misalnya mengetengahkan bahwa “tentara lebih terorganisir daripada sipil, mulai sentralisasi komando, hirarki, disiplin, komunikasi intern yang lancar. Sukar dikatakan bahwa sipil tidak mempunyai sifat-sifat ini, akan tetapi bagaimanapun juga sipil tidak memupuk sifat-sifat tersebut secara sistematis dan utuh.
Lalu di samping organisasi yang super sifatnya, maka emosi yang tinggi terhadap simbol dan monopoli menggunakan senjata merupakan sifat-sifat yang memberi keunggulan kepada militer untuk bersaing dengan sipil. Melalui upacara-upacara kepahlawanan, peringatan untuk hari-hari yang bersejarah seperti hari lahirnya Angkatan Perang, dan lain-lain, militer lebih mengesankan hubungan dengan negara secara keseluruhan. Simbol-simbol seperti sangsaka, kepangkatan, kepahlawanan, kesatuan, juga merangsang berkembangnya keterikatan tersebut diatas. Dengan kata lain militer lebih mampu mengembangkan keterikatan melalui simbol kondensasi (condensation symbol).
Kesemua faktor yang dikemukakan di atas memupuk kemampuan militer (ABRI) untuk “membendung atau sedikitnya mengalihkan konflik-konflik tradisionil yang memecah belah” kesatuan Indonesia sebagai satu negara. Organisasi ABRI mampu menghubungkan komando di pusat dengan semua daerah secara timbal balik. Sentralisasi organisasi yang didampingi oleh hirarki, memelihara keterikatan daerah kepada komando. Begitu pula keterikatan yang dilambungkan di dalam simbol-simbol yang seragam makna dan fungsinya menyokong keutuhan militer.
Bergesernya ABRI ke bidang politik, sosial dan ekonomi di dalam waktu yang cukup lama. Proses itu meminta waktu 20 tahun. ABRI meyakinkan diri untuk berperan sebagai kelompok utama di dalam proses kehidupan politik Indonesia secara keseluruhan. Di samping persaingan dan pertarungan politik di antara partai yang mengikuti pola aliran, sejarah politik Indonesia penuh pula dengan pengalaman-pengalaman yang memperlihatkan belum dibinanya suatu koordinasi yang wajar di antara sipil dan militer. Dimana revolusi gejala ini amat mewarnai kehidupan politik Indonesia.
Pada waktu Sistem Politik Demokratis Terpimpin, keutuhan ABRI diperlukan kembali. Pertama, untuk menghindari pemisahan-pemisahan daerah-daerah dari Indonesia. Dan kedua, untuk mengimbangi PKI yang semakin berhasil menyatakan dirinya sebagai kekuatan politik utama. Dengan demikian, secara praktis peranan ABRI di luar bidang kemiliteran sukar untuk dielakkan.

ABRI dan Pembangunan
Perhatikanlah rencana pembangunan yang pernah disusun dalam tahun 1957 diganti dengan rencana pembangunan Semesta yang disusun pada tahun 1961 dengan dasar ideologi yang sosialistis, yakni berlandaskan kepada lima prinsip USDEK : UUD`45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Ada dua hal yang memungkinkan ABRI lebih terikat dan ulet untuk melaksanakan pembangunan di Indonesia. Pertama ialah sifat kepemimpinan ABRI yang lebih melingkupi keseluruhan batas nasional. Dan kedua, yang erat pula hubungannya dengan yang pertama ialah organisasi yang dibina oleh ABRI. Lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong pula oleh sistem hirarki yang dilaksanakan dengan disiplin. Sebagaimana diketahui setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952, kepemimpinan TNI/AD menjadi lemah sebab jabatan Kepala Staff Angkatan Darat (KSAD) dipegang oleh orang-orang yang kurang disepakati oleh mayoritas komando-komando daerah. AD secara besar-besaran berusaha mengurangi jumlah tentara, namun koordinasi diantara perwira dan bintara masih dapat dipelihara melalui Ikatan Perwira Republik Indonesia dan Ikatan Bintara Republik Indonesia. Satu lagi yang menentukan suksesnya kepemimpinan ABRI ialah sistem komunikasi yang terpelihara.
Sesungguhnya penugasan anggota ABRI di luar bidang ketentaraan ini sudah dimulai semenjak tahun 1957. Semenjak itu perwira-perwira ABRI mulai bertugas sebagai pimpinan-pimpinan perusahaan negara yang dibentuk dari perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih didalam rangka kampanye untuk menyokong pandangan yang pro Indonesia di dalam sidang umum PBB. Lalu penempatan perwira ABRI di dalam pemerintahan dilegalisir oleh UU No. 74 tahun 1957 yang kemudian diganti oleh Keputusan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959.

IV. Mahasiswa dan Angkatan Muda

Kekuatan Politik Anomie
Adalah Sumpah Pemuda di tahun 1928 untuk pertama kali dengan gambling mengemukakan bahwa angkatan muda sebagai komponen masyarakat mengambil bagian di dalam kehidupan politik Indonesia. Sumpah tersebut merupakan salah satu usaha untuk memperoleh kemerdekaan. Saat ini masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia, bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya dan Indonesia sebagai kesatuan sosial dan politis.
Di masa penjajahan Jepang, pusat-pusat pendidikan agaman atau pesantren, dan lembaga-lembaga sosial yang juga bergerak di bidang pendidikan, seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan semacamwadah bagi pergerakan angkatan muda di samping “gerakan-gerakan di bawah tanah seperti yang dipimpin oleh Sjahrir”.
Bagi partai politik, perkembangan jumlah mahasiswa dilihat sebagai kekuatan potensial karena itu menjelang Pemilihan Umum tahun 1955 partai-partai politik meningkatkan kegiatannya di kalangan mahasiswa dalam rangka memperoleh dukungan. Hal ini sering menimbulkan masalah baru bagi universitas, sebab sejak itu percaturan politik baik nasional maupun daerah mulai mempengaruhi kehidupan kampus. Tumbuh pengotakan mahasiswa yang didasarkan kepada ideologi, yang mempertajam ikatan-ikatan kesukuan, agama, daerah, dan sebagainya.
Akan tetapi bagi kehidupan politik generasi muda, keadaan di atas merupakan langkah-langah permulaan bagi penonjolan mahasiswa di dalam kegiatan politik angkatan muda. Demikian pula kesempatan untuk muncul sebagai pimpinan di dalam gerakan-gerakan sosial-politik angkata muda. Sampai tahun 1965, organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi kepada partai seperti GMNI (pada PNI), CGMI (pada PKI), PMII (pada NU), SEMMI (pada PSII), MMI (menyokong Masyumi), selalu aktif didalam kegiatan-kegiatan partai politik seperti perayaan ulang tahun, pawai, rapat umum yang disponsori partai, dan sebagainya.



Mendampingi faktor lingkungan seperti yang telah dibicarakan diatas, karakteristik dari mahasiswa sendiri merupakan faktor pendorong pula bagi meningkatnya peranan merek di dalam kehidupan politik angkatan muda. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas diantara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak diantara pelapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda. Adalah nyata bahwa “hubungan antara sekolah dengan sosialisasi politik merupakan hal yang baru”. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama, terjalin di dalam kegiatan kampus sehari-hari. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka universitas lebih kentara maknanya bagi pembentukan akulturasi sosial dan budaya dalam kalangan angkatan muda. Masuknya pengaruh kehidupan partai politik melalui organisasi mahasiswa ekstra universitas sejak menjelang pemilihan umum tahun 1955, tidak secara keseluruhan mengurangi kemampuan mahasiswa untuk berakulturisasi. Keempat, mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elite di dalam kalangan angkatan muda. Sebab mahasiswa yang merupakan jumlah terkecil dari angkatan muda umumnya mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang lebih baik diantara keseluruhan angkatan muda. Kelima, meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas daripada perubahan kecenderungan orientasi universitas. Sebelum tahun 1965, universitas-universitas di Indonesia yang umumnya berlokasi di kota, juga berorientasi kepada kota dan masalah nasional.






Angkatan Muda dan Politik
Faktor-faktor pendorong mahasiswa untuk terjun ke dunia politik tidaklah terpisah dari unsur-unsur penyebab politik angkatan muda.
Perbedaan nilai antara generasi muda dengan generasi yang lebih tua mendorong terbentuknya generasi muda sebagai kekuatan politik di Indonesia. Generasi muda bukan tidak melihat perlunya simbol-simbol seperti Revolusi 1945, Angkatan `45, dan sebagainya, akan tetapi sesuai dengan tanggapan mereka terhadap lingkungan dan diri sendiri, generasi muda lebih tertarik kepada masalah-masalah kesempatan kerja, kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kepincangan ekonomi dan sosial diantara pelapisan masyarakat dan diantara daerah., Angkatan Muda merasa langsung terlibat kedalam masalah-masalah di atas, sebab kesemuanya itu mereka hadapi secara nyata dan pula akan mempengaruhi hari depan mereka.
Perbedaan ini lebih banyak didorong oleh pengalaman dan sejarah dari masing-masing generasi. Sungguhpun Angkatan `28 dan `45 sama-sama menghayati proses peralihan dari terjajah kepada merdeka, akan tetapi Angkatan `45 lahir dari dalam romantisnya perang kemerdekaan. Sedangkan angkatan `66 lahir dari krisis sosial, ekonomi dan politik yang terjadi pada waktu penjajahan tidak dipersoalkan lagi.

Mahasiswa dan Politik
Umumnya mahasiswa yang aktif berpolitik adalah mereka yang berpandangan pesimis mengenai kemungkinan untuk memperoleh posisi yang baik di dalam masyarakat. Mereka ini agak terlambat menyelesaikan pendidikannya di universitas, atau memang tidak menyelesaikan sama sekali, karena kekurangan biaya. Sering mahasiswa yang termasuk kedalam kategori ini membiayai sendiri pendidikannya,




baik secara sebagian maupun secara keseluruhan. Kebanyakan dari mereka berasal dari lapisan menengah sedang dan rendah.

V. Politik, Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat

Politik dan Pembangunan Ekonomi
Sungguhpun di dalam kehidupan politik dan ekonomi tidak terpisah satu sama lain, namun untuk kepentingan analisa perlu melihat kedua unsur kehidupan itu sebagai sub-sistem yang mempunyai sifat dan fungsi sendiri. Kalau negara sebagai sistem politik mempunyai unsur utama ”penggunaan kekuasaan memaksa secara sah” dalam batas tanggung jawab kepada masyarakat secara keseluruhan, maka ekonomi sebagai sistem merupakan pengorganisasian pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang biasanya tersedia secara langka.
Hubungan kedua sistem itu terletak pada penggunaan ”kekuasaan pemaksa secara sah” di dalam usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat. Misalnya di dalam perencanaan dan pengerahan masyarakat kepada pusat-pusat usaha ekonomi yang biasa disebut sebagai pembangunan, merupakan contoh hubungan yang erat sekali diantara politik dan ekonomi. Intensitas hubungan kedua aspek diatas, adalah berbeda di berbagai negara. Akan tetapi di Indonesia, seperti juga dinegara-negara berkembang pada umumnya, hubungan antara politik dan ekonomi erat sekali. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu, pertama, sebagai negara yang baru lepas dari sistem ekonomi kolonial dimana sistem ekonomi terpecah di dalam dua unsur yaitu unsur ekonomi ekspor dan ekonomi lokal. Tindakan seperti itu diperlukan pula mengingat perekonomian lokal terjerat di dalam sistem produksi untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk pasar yang menghendaki produksi yang cukup besar.




perekonomian ekspor berpengaruh terhadap sistem ekonomi secara keseluruhan, namun sebagian besar masyarakat belum terbiasa dengan sistem ekonomi pasar. Kedua, sebagai akibat dari sistem ekonomi penjajahan, dimana masyarakat lebih terpusat kepada sektor produksi pertanian, maka sektor industri dan perdagangan menengah atau perantara dengan sektor ekspor amatlah lemah. Dengan demikian masyarakat secara keseluruhan kurang mampu mengembangkan keahlian, seperti manajemen. Begitu pula halnya dengan permodalan. Ketiga, kelompok ekonomi yang baru tumbuh ii juga lemah kedudukannya untuk bersaing dengan kelompok ekonomi yang telah berpengalaman sebagai perantara di dalam sistem ekonomi kolonial. Demikianlah misalnya posisi kelompok ekonomi pribumi menghadapi kelompok ekonomi Tionghoa dan orang asing lainnya. Begitu pula di dalam berhadapan dengan kelompok ekonomi yang datang bersama masuknya modal asing dalam dekade pembangunan ini. Keempat, secara nasional kelompok-kelompok ekonomi yang ada di dalam masyarakat Indonesia belum mampu untuk melihat diri sendiri sebagai unit politik yang didasarkan pada unsur primordisi daripada kapasitas ekonomi antara daerah ekonomi, amat berpengaruh kepada hubungan antara daerah serta hubungan pusat dan daerah sebagai kesatuan ekonomi.
Keseluruhan faktor diatas memperlihatkan adanya kebutuhan akan suatu pengorganisasian yang meliputi perekonomian masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hal itulah yang menyebabkan ketergantungan unit-unit ekonomi baik kelompok-kelompok ekonomi, maupun daerah-daerah ekonomi kepada peranan pemerintah di dalam perekonomian.
Sejauh menyangkut perekonomian, pada umumnya dikenal tiga usaha pokok yang harus dilaksanakan oleh suatu pemerintah. Pertama, mengatur kegiatan ekonomi secara keseluruhan melalui usaha-usaha yang mendasari perkembangan ekonomi, menekan pengangguran, dan menjaga kestabilan harga. Kedua, membagi kembali penghasilan nasional kepada masyarakat melalui pajak progresif, sumbangan-




sumbangan, dan subsidi berupa jaminan sosial bagi penganggur, penderita cacat, kecelakaan dan sebagainya. Ketiga, menyediakan prasarana bagi perekonomian dalam bentuk fasilitas komunikasi.
Oleh karena gerak perekonomian banyak tergantung kepada pemerintah, maka sikap dan tingkah laku elite politik sebagai pihak yang bermain di dalam arena politik nasional mempunyai pengaruh yang tidak bisa diabaikan, baik di dalam proses perekonomian, maupun di dalam proses pembangunan.
Pada umumnya politik di negara-negara berkembang sebanding dengan keadaan di Eropa dan Jepang dalam abad ke 17, 18 dan 19 dimana baru terdapat sejumlah kecil elite politik yang sesungguhnya berpengaruh kepada pertumbuhan pendidikan, informasi, keuangan, dan pelembagaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu Indonesia sebagai negara berkembang terlambat memberikan perhatian kepada pembangunan secara sungguh-sungguh.
Partisipasi Masyarakat di Dalam Pembangunan
Keperluan akan pelopor pembangunan buka saja karena masyarakat langka akan pimpinan-pimpinan yang mampu membawa perubahan ke dalam masyarakat. Akan tetapi kedua jenis pemimpin yaitu baik pimpinan formal seperti Lurah, maupun pemimpin non-formal seperti kyai, mempunyai kelemahan sendiri-sendiri untuk bertindak sebagai pelopor pembangunan. Pemimpin formal sudah terlalu banyak beban tanggung jawab yang harus diselesaikannya. Sedangkan pemimpin non-formal belum begitu besar prosentasenya yang mempunyai dasar-dasar pengetahuan untuk bertindak sebagai pelopor pembangunan.
Mendatangkan pelopor pembangunan dari luar lingkungan kelompok-kelompok masyarakat ini bukan tidak mempunyai kelemahan. Umpamanya mengenai jumlah pelopor yang bisa disediakan oleh pemerintah. Lalu proses penyesuaian antara kedua belah pihak, yaitu antara masyarakat dan pelopor itu sendiri secara timbal balik, sering pula meminta waktu. Disamping itu hubungan wewenang antara pelopor yang didatangkan dari luar desa atau lingkungan masyarakat, dengan pimpinan-pimpinan masyarakat itu sendiri, juga perlu memperoleh pemecahan.
Kalau usaha pelopor pembangunan berfaedah untuk keseluruhan usaha pembangunan, maka di dalam rangka meningkatkan potensi ekonomi dan pengertian




keahlian dan kemampuan berusaha, yang diharapkan ialah para pengusaha (entrepreneur). Sebagai pelopor pembangunan, motivasi pengusaha ialah keuntungan yang diperoleh secara pribadi.
Di Indonesia, pengusaha sebagai kelompok masih lemah. Sementara perusahaan-perusahaan besar nasional masih kecil jumlahnya, kelompok usahawan menengah belum tumbuh untuk mempercepat perkembangan ekonomi. Kecenderungan generasi muda untuk terjun ke dalam duania usaha masih kecil. Pegawai negeri termasuk militer adalah lapangan kehidupan yang masih diharapkan untuk dimasuki oleh sebagian besar tamatan sekolah menengah dan universitas.
Akhirnya perhatian kita tertuju pada daerah pedesaan yang sesungguhnya merupakan basis dari kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Sebagai basis masyarakat secara keseluruhan, “harga perkembangan pedesaan memang jauh lebih besar daripada pengembangan ekonomi lapisan bawah masyarakat yang berada di kota”. Sebab biasanya fasilitas yang berada di kota lebih memungkinkan masyarakat kota untuk cepat berkembang dengan biaya yang lebih ringan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar