Rabu, 29 Desember 2010

tugas antropologi

Pilkada Sukoharjo diwarnai banyak pelanggaran

Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) yang digelar di Kota Makmur, Kamis (3/6) diwarnai banyak pelanggaran. Pelanggaran itu antara lain pencoblosan yang dilakukan lebih dari satu kali oleh satu orang pemilih serta adanya surat undangan untuk warga yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Ketua panitia pengawas kecamatan (Panwascam) Tawangsari, Dwijo Sutarmin menerangkan, telah menerima laporan mengenai pelanggaran Pilkada pada Kamis siang. “Laporan saya terima siang ini. Laporannya sendiri mengenai pencoblosan dua kali oleh satu orang warga. Total warga yang dilaporkan ada dua orang sehingga mereka melakukan empat kali coblosan,” jelasnya ketika dijumpai wartawan, Kamis.
Tarmin sapaan akrabnya menambahkan, dua warga yang dilaporkan atas nama Lasiyo dan Kismo Mulyono. Keduanya adalah warga RT 02/RW IV, Ngasinan, Watubonang, Tawangsari. “Mengenai satu orang pemilih yang mencoblos dua kali itu dilaporkan oleh saksi pasangan Wardoyo Wijaya-Haryanto (War-To). Yang melaporkan atas nama Santoso, warga RT 03/RW V Tengklik,” jelasnya.
Dengan adanya laporan itu, Tarmin menambahkan, akan meneruskannya kepada Panwas kabupaten (Panwaskab). Terpisah, tim sukses War-To, Syarif Hidayatullah menjelaskan, pihaknya menemukan pelanggaran di TPS 10 Madegondo, Tawangsari. “Ada dua orang warga yang bukan warga Sukoharjo namun tetap mendapat surat undangan. Mereka masing-masing Sukijan warga Wonogiri dan warga Klaten atas nama Murni,” jelasnya.
Politik Uang Tak Menjamin Kemenangan
Peredaran money politic saat sebelum pemilihan kepala daerah (Pilkada) berlangsung, dinilai tidak memberi dampak signifikan terhadap pemilih. Sebab, uang yang diberikan itu hanya bersifat ajakan untuk mencoblos pasangan tertentu. Sehingga, belum bisa jadi jaminan bahwa masyarakat akan mudah pindah ke pasangan tersebut.
Hal itu diungkapkan pengamat politik asal Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Totok Sarsito, Rabu (2/6). Menurut Totok, setiap kali pilkada digulirkan, indikasi adanya money politic memang ada. “Namun, kekuatannyanya tidak begitu besar. Mereka tetap akan berpegangan pada pasangan calon yang sudah mengakar dihatinya,” ujar Totok.
Dia menilai, praktek money politic justru akan merugikan pasangan yang melakukannya. Sebab, masyarakat tidak begitu memperdulikan apakah itu datang dari pasangan A atau B. “Jadi, uang yang diberikan itu akan sia-sia. Kalau mereka diberi, kebanyakan memang diterima. Tapi ya itu tadi, tidak bisa mengubah niat untuk memilih calon tertentu,” ungkapnya.
Dengan demikian, kendati ada pasangan calon yang mengandalkan money politic belum menjamin akan memenangi pilkada. “Yang dikhawatirkan justru ketika mereka kalah dalam pemilihan, uang itu akan diminta kembali. Itu yang repot,” kata Totok.
Wakil Presiden Boediono mengatakan, demokrasi harus didasari dengan perjuangan yang bersih dan tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. "Demokrasi disfungsional dilandasi dua penyebab utama," kata Boediono ketika membuka Konggres II Persatuan Alumni GMNI di Grand City Surabaya, Jum'at (26/11).


Dua penyebab gagalnya demokrasi, itu, kata dia, pertama adalah money politik yang membabi buta. "Demokrasi adalah upaya untuk menyalurkan pandangan rakyat, kalau semuanya bisa dibeli dengan uang, landasan dasar demokrasi akan mati," katanya.

Penyebab kedua, kata dia, adalah birokrasi yang selalu dipengaruhi faktor politik, di mana demokrasi selalu disetir oleh penguasa politik, dan demokrasi yang didekte oleh kepentingan pemodal. “Padahal, demokrasi harusnya melayani semuanya, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan semata,” ujarnya.

Meski mengaku bukan politisi, Boediono mengaku sejak dirinya menjabat Wakil Presiden dirinya mulai belajar tentang politik. "Saya bukan politikus, tapi saya harus tau politik minimal pandangan-pandangan politik," kata mantan Gubernur Bank Indonensia ini.

Dalam sambutannya di hadapan peserta Konggres PA GMNI ini, Boedionno bercerita, republik ini dulunya didirikan atas dasar kesepakatan berbagai elemen bangsa dengan satu landasan adanya kesamaan nasib, yaitu sama-sama jajahan. Karennya, untuk membangung republik, rasa primordialisme harus dihilangkan. Permusuhan di antara elemen bangsa juga harus dihapus.

"Bung Karno pernah berkata, nasionalisme Indonesia akan subur di taman sari internasional, jadi kalau pengen besar, medan pertempuran kita adalah di luar. Bukan di dalam negeri," kata Boediono.
Kesimpulan
Perlu di bangun bersama untuk mewujudkan budaya politik yang demokratis.pemerintah seharusnya mampu membuat mekanisme untuk mencegah dan mengatasi adanya money politik. Harus tegas, inilah resiko pembelajaran dalam berdemokrasi yang bebas bertanggungjawab. Beri hukuman yang sangat maksimal bila mereka bersalah (harus ini, karena Indonesia belum cerdas berdemokrasi), ini merupakan salah satu solusi pembelajaran diantara sekian banyak solusi bila kita ingin menginginkan Indonesia berdemokrasi dengan sehat dan cerdas. Ini salah satu upaya mempertahankan citra “damai” Indonesia dan mempertahankan kedaulatan NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar